Minggu, 11 Juli 2010

pengawasan dan pembinaan wajib pajak melalui pemeriksaan dalam sistem self assessment di bidang perpajakan

PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG
Indonesia saat ini sedang mengalami berbagai permasalahan di berbagai sektor khususnya sektor ekonomi. Naiknya harga minyak dunia, tingginya tingkat inflasi, naiknya harga barang-barang dan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika serta turunnya daya beli masyarakat telah menjadi masalah yang sangat rumit yang harus diselesaikan oleh pemerintah.
Untuk tetap dapat bertahan dan memperbaiki kondisi ekonomi yang ada, pemerintah harus mengupayakan semua potensi penerimaan yang ada. Pada saat ini tengah digali berbagai macam potensi untuk meningkatkan penerimaan negara, baik yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri. Namun seiring dengan berkembangnya kemampuan analisis para praktisi ekonomi yang menyatakan bahwa mengandalkan pinjaman dari luar negeri sebagai salah satu sumber penerimaan negara hanya akan menjadi bumerang dikemudian hari, potensi penerimaan dari pinjaman luar negeri akan semakin dikurangi.
Berdasarkan hal tersebut maka Indonesia akan berusaha untuk lebih meningkatkan potensi penerimaan negara dari dalam negeri, dan tidak dapat dipungkiri lagi bahwa pajak telah memberikan kontribusi terbesar dalam penerimaan negara.
Penerimaan dari sektor pajak terbagi menjadi dua golongan, yaitu dari pajak langsung contohnya pajak penghasilan dan dari pajak tidak langsung contohnya pajak pertambahan nilai, bea materai, bea balik nama. Memang, dilihat dari segi penerimaan, Pajak Panghasilan dapat membantu negara dalam membiayai pengeluaran, namun tidak semua orang dapat dikenakan PPh. Pajak Penghasilan hanya dapat dikenakan kepada orang pribadi atau badan yang telah berpenghasilan di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Tetapi hal itu tidak berlaku bagi Pajak Pertambahan Nilai, karena pajak tersebut dapat dilimpahkan kepada orang lain sehingga memungkinkan semua orang dapat dikenakan PPN. Dan juga seperti yang kita ketahui bahwa hampir seluruh barang-barang kebutuhan hidup rakyat Indonesia merupakan hasil produksi yang terkena PPN.
Dengan kata lain, hampir semua transaksi di bidang perdagangan, industri dan jasa yang termasuk dalam golongan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak pada prinsipnya terkena PPN. Oleh karena itu walaupun seseorang belum memiliki NPWP namun ia tetap terkena PPN namun dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak sebagai pihak yang berhak memungut PPN yang nantinya PPN yang dipungut tersebut akan disetorkan ke kas Negara.
Dalam melakukan pemungutan pajak tersebut Indonesia menganut tiga sistem, Official Assessment System, Self Assessment System, dan Withholding System. Ketiga sistem diatas mempunyai keistimewaan masing-masing. Namun yang memiliki peranan yang lebih dominan adalah pada self assessment system karena diterapkan pada sistem pemungutan Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, serta sebagian pada Pajak Bumi dan Bangunan.
Pelaksanaan sistem yang baik akan dapat meningkatkan penerimaan karena semuanya dilakukan sesuai dengan sistem yang telah ditetapkan. Penggunaan sistem self assessment menuntut Wajib Pajak untuk aktif dalam melaksanakan kewajiban maupun hak perpajakannya. Dilain pihak kondisi ekonomi saat ini, seperti tingginya inflasi, menurunnya daya beli masyarakat, dan naiknya harga barang-barang akan mempengaruhi tingkat konsumsi masyarakat, dan tentunya berpengaruh terhadap penerimaan PPN karena PPN adalah pajak atas konsumsi. Turunnya tingkat konsumsi konsumen juga akan mempengaruhi kondisi produsen dalam hal ini yang dimaksud adalah para Pengusaha Kena Pajak (PKP).
Oleh karena itu penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai bagaimana pengaruh diterapkannya sistem self assessment tersebut pada para PKP dalam melaksanakan kewajiban PPN-nya terhadap penerimaan PPN. Penelitian yang dilakukan ini hanya melihat dari dalam sistem itu sendiri dan tidak memperhatikan kondisi ekonomi masyarakat, karena kenyataannya pelaksanaan sistem self assessment tersebut tidak memperhatikan bagaimana kondisi ekonomi yang dihadapi oleh masyarakat karena bagaimanapun kondisinya sistem self assessment tetap harus berjalan dengan baik.
Dengan argumen-argumen tersebut maka penulis menetapkan judul bagi penulisan makalahnya yaitu: “Pengawasan dan pembinaan wajib pajak melalui pemeriksaan dalam system self assessment di bidang perpajakan”



ISI

Dalam perpajakan terdapat tiga system pemungutan pajak yakni:
1) Official Assessment System
Suatu sistem pemungutan pajak yang memberi kewenangan aparatur perpajakan untuk menentukan sendiri jumlah pajak yang terutang setiap tahunnya sesuai dengan ketentuan undang-undang perpajakan yang berlaku.
2) Self Assessment System
Suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang Wajib Pajak untuk menentukan sendiri jumlah pajak yang terutang setiap tahunnya sesuai dengan ketentuan undang-undang perpajakan yang berlaku.
3) With Holding System
Suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga yang ditunjuk untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan undang-undang perpajakan yang berlaku.
Karena dalam makalah ini tema utamanya adalah tentang “pengawasan dan pembinaan wajib pajak melalui pemeriksaan dalam system self assessment di bidang perpajakan” maka pengulasan utamanya adalah self assessment system.
Sistem Self Assessment adalah suatu sistem yang memberikan kepercayaan dan tanggung jawab kepada Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan dan membayar sendiri jumlah pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku. Selain itu Wajib Pajak diwajibkan pula melaporkan secara teratur jumlah pajak yang terutang dan telah dibayar sebagaimana ditentukan dalam peraturan perpajakan. Pembayaran pajak selama tahun berjalan pada dasarnya merupakan angsuran pajak untuk meringankan beban Wajib Pajak pada akhir tahun pajak. Hakikat Self Assessment System adalah penetapan sendiri besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak. Pada sistem ini, masyarakat Wajib Pajak diberikan kepercayaan dan tanggung jawab yang lebih besar untunk melaksanakan kewajibannya, yaitu menghitung, memperhitungkan, membayar serta melaporkan.



Dalam sistem self assessment, administrasi perpajakan berperan aktif melaksanakan tugas-tugas pembinaan, pengawasan dan penerapan sanksi terhadap penundaan pemenuhan kewajiban perpajakan berdasarkan ketentuan yang digariskan dalam peraturan perpajakan. Fungsi pengawasan memegang peranan sangat penting dalam sistem self assessment, karena tanpa pengawasan dalam kondisi tingkat kepatuhan Wajib Pajak masih rendah, mengakibatkan sistem tersebut tidak akan berjalan dengan baik, sehingga Wajib Pajak pun akan melaksanakan kewajiban pajaknya dengan tidak benar dan pada akhirnya penerimaan dari sektor pajak tidak akan tercapai.
Berlakunya sistem self assessment di Indonesia menunjang besarnya peranan Wajib Pajak dalam menentukan besarnya penerimaan negara dari sektor pajak yang didukung oleh kepatuhan pajak (tax compliance). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kepatuhan pajak merupakan pelaksanaan atas kewajiban untuk menyetor dan melaporkan pajak yang terutang sesuai dengan peraturan perpajakan. Kepatuhan yang diharapkan dengan sistem self assessment adalah kepatuhan sukarela (valuntary compliance) bukan kepatuhan yang dipaksakan (compulsary compliance). Untuk meningkatkan kepatuhan sukarela dari Wajib Pajak, diperlukan keadilan dan keterbukaan dalam menerapkan perpaturan perpajakan, kesederhanaan peraturan dan prosedur perpajakan serta pelayanan yang baik dan cepat dari Wajib Pajak.
Dalam pemenuhan kewajiban perpajakan, Wajib Pajak harus mematuhi kewajibannya dalam melaksanakan kewajiban pajaknya. Kepatuhan pajak ada dua jenis yaitu:
1) Kepatuhan Formal yaitu suatu keadaan dimana Wajib Pajak memenuhi kewajiban perpajakannya secara formal sesuai dengan Undang-Undang Perpajakan.
2) Kepatuhan Material yaitu suatu keadaan dimana Wajib Pajak secara substantif hakikat memenuhi semua ketentuan material perpajakan yakni sesuai isi dan jiwa UU perpajakan.
Wajib Pajak Patuh adalah Wajib Pajak yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak sebagai Wajib Pajak yang memenuhi kriteria tertentu yang dapat diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak. Wajib Pajak patuh adalah mereka yang memenuhi empat kriteria dibawah ini, yakni:
1) Wajib Pajak tepat waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) untuk semua jenis pajak dalam dua tahun terakhir.
2) Wajib Pajak tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali telah memperoleh izin untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajaknya.
3) Wajib Pajak tidak pernah dijatuhi hukuman karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan dalam waktu sepuluh tahun terakhir.
4) Laporan keuangan Wajib Pajak yang diaudit akuntan publik atau BPKP harus mendapatkan status wajar tanpa pengecualian, atau dengan pendapat wajar dengan pengecualian, sepanjang pengecualian tersebut tidak mempengaruhi laba rugi fiskal. Selanjutnya ditegaskan bahwa seandainya laporan keuangan diaudit, laporan audit tersebut harus disusun dalam bentuk panjang (long form report) dan menyajikan rekonsiliasi laba rugi komersial dan fiscal. Adapun fungsi pengawasannya.
Dalam tataran ini fungsi pengawasan kurang lebih mengandung arti tindakan-tindakan yang dilakukan untuk mengetahui atau menguji kepatuhan wajib pajak melaksanakan ketentuan-ketentuan perpajakan yang berlaku. Dalam pelaksanaan fungsi pengawasan, antara lain dalam wujud pemeriksaan, penagihan dan peradilan pajak.
Pertanyaan adalah apakah selama ini pengawasan telah dilaksanakan dengan efektif ? jawabnya belum.
Berbagai kendala dihadapi dalam upaya penegakan Law inforcement di sektor perpajakan negeri ini antara lain :

Faktor Ekstern

Pemerintahan belum mampu melepaskan diri dari krisis kepercayaan yang melanda negara ini khususnya krisis kepercayaan terhadap birokrat penyelenggara pemerintah.
Ada pandangan bahwa sanksi hukum hanya berlaku bagi rakyat kecil, sedangkan masyarakat golongan atas dengan kelebihan power yang dimiliki dengan segala cara mampu memanfaatkan celah-celah yang ada untuk melepaskan diri dari sanksi-sanksi hukum dengan mengabaikan etika dan moral.
Sering terjadi penegakan hukum konotasinya semata-mata penegakan ketentuan-ketentuan yang tertulis dalam ketentuan perundang-undang, dengan mengabaikan rasa keadilan masyarakat..

Faktor Intern :

Dalam hal pemeriksaan ada kecenderungan semata-mata pemerikasaan, tanpa adanya pembinaan terhadap wajib pajak. Indikasi-indikasi demikian antara lain nampak dalam hal-hal sebagai berikut :
Masih terjadi satu wajib pajak yang diperiksa berulang-ulang dalam kurun waktu beberapa tahun.
Koreksi yang terjadi nilainya relatif sama pada pemeriksaan suatu masa/tahun dengan masa/tahun sebelumnya. Ironisnya apabila pos-pos yang dikoreksi berkisar itu-itu juga.
Masih terjadi pemeriksaan aktivitas usaha beberapa tahun yang lewat, yang kegiatan pemeriksaannya dilaksanakan pada saat kemampuan wp sudah ssangat menurun sehingga produk ketetapan kurang bayar nilanya sangat tinggi dan hanya memperbesar tunggakan pajak.
Masih terjadi penetapan secara jabatan terhadap kegiatan usaha beberapa tahun lalu yang proses pemeriksaannya dilakukan pada saat kedudukan wp sudah tidak diketemukan lagi sehingga produk ketetapan kurang bayarnya tidak dapat ditindaklanjuti penagihannya.
Dalam beberapa kasus masih terjadi keluhan-keluhan wp terhadap sikap arogansi pemeriksa.
Dalam hal mengajukan banding ke BPSP. Peluangnya menjadi sangat kecil dengan adanya ketentuan harus melunasi pokok pajak terlebih dahulu. Ditinjau dari segi hukum semata-mata idealnya memang demikian. Tetapi ditinjau dari rasa keadilan masyarakat perlu dicermati mengapa wajib pajak sampai banding padahal dalam proses pemeriksaan sampai dengan terbitnya produk hukum sudah melalui pembahasan akhir. Atau bagaimana pemberian perlindungan terhadap hak-hak wajib pajak yang benar-benar mengalami kesulitan liquiditas.
Akumulasi dari semua permasalahan yang ada mulai dari kegiatan penyuluhan, pelayanan dan pemeriksaan terlihat pada semakin membengkaknya jumlah tunggakan pajak. Membengkaknya jumlah tunggakan pajak adalah cermin kekurang berhasilan dan rendahnya wibawa Direktorat Jendral Pajak.
Membengkaknya jumlah tunggakan pajak merupakn mata ranati sebab akibat kurang lebih sebagai berikut :
Membengkaknya jumlah tunggakan pajak adalah akibat dari besarnya jumlah wp yang tidak melaksanakan kewajiban pembayaran pajaknya.
Besarnya jumlah wp yang menunggak pembayaran pajak adalah wujud sikap perlawanan wajib pajak.
Munculnya sikap perlawanan adalah akibat adanya rsa tidak puas terhadap suatu proses pemajakan.
Rasa tidak puas timbul karena hal-hal antara lain :
Adanya komunikasi yang tidak pas antara petugas dengan wajib pajak.
Wajib pajak benar-benar tidak mengetahui apa itu pajak, mengapa yang bersangkutan kena pajak dan lain-lain sebagai akibat kesenjangan informasi.
Adanya pendekatan yang keliru dari petugas misalnya dengan pendekatan kekuasaan. Adalah bahasa umum bagi petugas yang menyatakan bahwa sebagai warga negara harus sudah mengetahui setiap ketentuan yang diundangkan dan telah di muat pada lemabaran negara.
Masih adanya wajib pajak yang sengaja berusaha mengingkari kewajibannya dengan mengandalkan backing orang-orang kuat.
Penataran juru sita yang berulangkali bukanlah obat penawar mengurangi membengkaknya tunggakan pajak. Ibaratnya tunggakan yang membengkak tersebut adalah suatu penyakit, perlu dilakukan diagnosa yang teliti dan menyeluruh untuk mengetahui sebab-sebabnya. Adanya kecenderungan bahwa membengkaknya tunggakan pajak adalah suatu wujud kekurangberhasilan jajaran Direktorat Jendral Pajak didalam upaya optimalisasi penyelenggara fungsi-fungsi penyuluhan, pelayan maupun penerapan Law Inforcement.
Dengan sangat sederhana problem pemungutan pajak di Republik ini dapat di gambarkan sebagai berikut :
Pada dasarnya perilaku manusia penuh pamrih ia akan mau berkorban kalau ada harapan akan memperoleh sesuatu.
Seseorang akan rela mengeluarkan uangnya, apabila mengetahui maksud dan tujuan serta manfaatnya.
Untuk mengetahui maksud, tujuan dan manfaat pembayaran pajak, perlu informasi yang benar dan akurat.
Informasi diperoleh melalui komunikasi.
Agar wajib pajak dengan senang hati melaksanakan kewajibannya perlu diberikan pelayanan prima baik meyangkut prosedur, kecepatan, kesederhanaan maupun perilaku aparat.. Adalah keliru apabila ada anggapan di benak sementara aparat bahwa ia merasa berwibawa apabila mampu membuat nyali wajib pajak menjadi ciut dengan berkata ketus, memelototi atau mengertak.
Dengan tampil profesional niscaya wibawa Direktorat Jendral pajak di masyarakat akan meningkat.
Apabila wibawa sudah terbangun, dapat diyakinkan penerapan Law inforcement lebih mudah dilaksanakan.

Perubahan undang-undang perpajakan belum menjamin berhasilnya upaya peningkatan Tax Ratio dan Tax coverage Ratio. Adalah tugas berat bahkan mungkin lebih berat dari sekedar merubah pasal-pasal dalam undang-unadng yaitu membangun mental dan perilaku aparat. Keberadaan aparat Direktorat Jenderal Pajak sangat strategis dan rentan terhadap perilaku negatif. Reward and Punishment hanya akan menjadi euphoria, apabila tidak memperhatikan persoalan mendasar yaitu kesejahteraan karyawannya. Dalam hubungan ini pada tahap awal mungkin dapat dipakai acuan gaji karyawan BUMN, yang eksistensi, kondisi dan kontribusinya terhadap penerimaan negara sudah diketahui bersama.




Pemeriksaan pajak

sejak awal tahun 1984, pemungutan pajak yang diterapkan di Indonesia adalah sistem Self Assessment, dimana wajib Pajak diwajibkan untuk menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri jumlah Pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Pada sistem yang baru ini, penentuan besarnya Pajak terutang berada pada Wajib Pajak itu sendiri dan Wajib Pajak harus mengambil peranan aktif dalam memenuhi kewajiban perpajakannya untuk membayar pajak. Kepercayaan yang diberikan Pemerintah kepada masyarakat harus diimbangi dengan upaya penegakan hukum dan pengawasan yang ketat atas kepatuhan Wajib Pajak dalam melaksanakan kepercayaan yang telah diberikan tersebut agar tidak terjadi pelanggaran terhadap pemenuhan kewajiban membayar Pajak oleh Wajib Pajak. Oleh karena itu, dalam rangka pengawasan tersebut diadakan Pemeriksaan Pajak Pemeriksaan Pajak Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 545/KMK.04/2000 tentang Tata Cara Pemeriksaan Pajak, pemeriksaan didefenisikan sebagai “serangkaian kegiatan untuk mencari, mengumpulkan, mengelola data dan atau keterangan lainnya untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.


















PENUTUP

1. KESIMPULAN

Sistem self assessment memberikan kepercayaan penuh kepada Wajib Pajak, maka selayaknya diimbangi dengan adanya pengawasan yang diberikan tidak disalahgunakan. Ini menjadikan tugas Direktorat Jenderal Pajak untuk menetapkan pajak setiap Wajib Pajak menjadi berkurang. Dalam prinsip self assesment system, penentuan besarnya pajak terutang dipercayakan kepada Wajib Pajak sendiri melalui Surat Pemberitahuan ( SPT ) yang disampaikan.
Tugas pokok Direktorat Jenderal Pajak dalam hal ini khususnya yang sangat menonjol sesuai dengan fungsinya adalah melakukan pembinaan, penelitian, pengawasan, dan pelayanan dalam hubungan dengan pelaksanaan pemenuhan kewajiban perpajakan dari Wajib Pajak, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Peraturan Perundang-undangan Perpajakan yang berlaku.
Fungsi Pengawasan sebagai salah satu tugas pokok Direktorat Jenderal Pajak pada dasarnya meliputi kegiatan penelitian dan pemeriksaan di bidang perpajakan. Apabila ditinjau dari segi pelaksanaannya, kegiatan – kegiatan tersebut merupakan suatu proses yang berkaitan satu sama lainnya, terutama dalam hubungannya dengan usaha penegakan Peraturan Perundang – undangan Perpajakan yang bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak akan kewajiban perpajakannya.
Perubahan sistem pemungutan pajak dari official assessment menjadi self assessment, merupakan salah satu upaya pemerintah untuk meningkatkan kemandirian dalam pembiayaan pembangunan dari penerimaan dalam negeri yang berasal dari pajak, karena penerimaan dari migas tidak dapat diandalkan lagi, sementara sumber dana dalam negeri hanya sebagai pelengkap.
Pemungutan pajak di suatu Negara, menurut Gunadi (1997: 1), dianggap sukses apabila terdapat enam kondisi pendukung, yaitu:

1. Sebagian besar aktifitas ekonomi dilaksanakan dalam transaksi uang.
2. Tingkat iliterasi (buta huruf) masyarakat rendah.
1. Adanya praktek pembukuan (administrasi) yang sehat dan dapat diprecaya (reliable).
3. Tingkat kepatuhan dan disiplin yang tinggi.
1. Tersedianya jaringan dan akses terhadap informasi serta komunikasi yang efektif dengan sedikit (menghilangkan) kerahasiaan (untuk tujuan perpajakan).
2. Rendahnya tingkat sektor (ekonomi) informal (underground, black market economy).
Berdasarkan pembahasan di atas, penulis menarik kesimpulan bahwa, sejak berlakunya system self assessment di Negara kita, terdapat banyak wajib pajak yang belum memahami betul tentang system ini, karena masi ditemukan wajib pajak yang belum mengisi surat pemberitahuan dengan benar, lengkap, dan jelas dan menandatangani serta menyampaikannya ke kantor direktorat jenderal pajak, tempat wajib pajak terdaftar atau dikukuhkan atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.


2 . SARAN


Agar sistem self assessment berjalan secara efektif, keterbukaan dan pelaksanaan penegak hukum merupakan hal yang paling penting. Penegakan hukum ini dapat dilakukan dengan adanya pemeriksaan/penyidikan pajak dan penagihan pajak. Pemeriksanaan pajak merupakan instrumen yang baik untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak, baik formal maupun material dari peraturan perpajakan, yang tujuannya untuk menguji dan meningkatkan kepatuhan perpajakan seorang Wajib Pajak (Priatara 2000), kepatuhan ini akan sangat berdampak baik secara langsung maupun tak langsung pada penerimaan pajak.


DAFTAR PUSTAKA

 Undang-Undang Ketentuan Umum dan tata cara Perpajakan (KUP) Tahun 2010.
 Surat Keputusan Menteri Keuangan
 Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak
 WWW.Google.Com

Tidak ada komentar: